Selasa, 26 Juli 2011

Faktor Faktor Sosial, Budaya, Ekonomi dan Lingkungan dalam Analisis Kebijakan Publik

Faktor Faktor Sosial, Budaya, Ekonomi dan Lingkungan
dalam Analisis Kebijakan Publik

Oleh: Widjajono Partowidagdo

Analisis kebijakan publik adalah ilmu yang menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan publik. Produk analisis kebijakan publik adalah nasehat. Kebijakan yang diambil akan mempunyai biaya dan manfaat sosial tertentu. Kebijakan tersebut dapat relatif menguntungkan suatu kelompok dan relatif merugikan kelompok lainnya.

Permasalahan kebijakan terdiri dari kegagalan pasar, kegagalan pemerintah dan masalah distribusi. Permasalahan kebijakan dipengaruhi oleh faktor eksternal yang terutama dipengaruhi oleh globalisasi dan faktor internal yang terutama dipengaruhi kemampuan manusianya. Kebijakan publik dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, budaya, ekonomi dan, lingkungan. Untuk membantu membuat alternatif kebijakan publik dapat digunakan model kebijakan.

Analisis Kebijakan Publik dan Analisnya

Analisis kebijakan publik mempunyai tujuan yang bersifat penandaan (designative) dengan pendekatan empiris (berdasarkan fakta), bersifat penilaian dengan pendekatan evaluatif dan bersifat anjuran dengan pendekatan normatif. Prosedur analisis berdasarkan letak waktu dalam hubungannya dengan tindakan dibagi dua yaitu ex ante dan ex post. Prediksi dan rekomendasi digunakan sebelum tindakan diambil atau untuk masa datang (ex ante), sedangkan deskripsi dan evaluasi digunakan setelah tindakan terjadi atau dari masa lalu (ex post). Analisis ex post berhubungan dengan analisis kebijakan retrospektif yang biasa dilakukan oleh ahli ahli ilmu sosial dan politik, sedangkan analisis ex ante berhubungan dengan analisis kebijakan prospektif yang biasa dilakukan oleh ahli-ahli ekonomi, sistem analisis dan operations research. Analisis kebijakan biasanya terdiri dari perumusan masalah, peliputan, peramalan, evaluasi, rekomendasi dan kesimpulan.

Analis kebijakan adalah seseorang yang melakukan analisis kebijakan. Yang diperlukan oleh seorang analis :

Analis harus tahu bagaimana mengumpulkan, mengorganisasikan dan mengkomunikasi informasi dalam situasi dimana waktu dan informasi terbatas. Mereka harus dapat membuat strategi untuk mengerti secara cepat problem untuk analisis kebijakan tersebut dan sejumlah solusi yang mungkin. Mereka harus dapat mengidentifikasi secara cepat, paling tidak secara kwalitatip, biaya dan manfaat untuk masing-masing alternatif dan mengkomunikasikan penilaian tersebut dengan klien.
Analis membutuhkan perspektif (pandangan) untuk meletakkan problem sosial yang dihadapi kedalam konteks, memahami kegagalan pasar dan kegagalan pemerintah.
Analis membutuhkan kemampuan teknis untuk memperkirakan kebijakan-kebijakan apa yang diperlukan bagi masa datang yang lebih baik dan mengevaluasi konsekwensi pilihan-pilihan kebijakan yang lebih baik. Ekonomi (mikro dan keuangan publik) dan statistik diperlukan untuk hal tersebut.
Analis harus mengerti institusi dan implementasi dari masalah yang diamati untuk dapat meramalkan akibat dari kebijakan yang dipilih. Dengan mengerti pandangan klien dan lawannya, analis dapat menyusun fakta dan argumentasi secara lebih efektif.
Analis harus mempunyai etika (moral).

Terdapat tiga macam peranan analis kebijakan :

Analis Obyektif :
Mereka menyatakan keadaan apa adanya dalam analisisnya dan membiarkan analisis menyatakan kebenaran. Kepentingan politik klien adalah nomor dua. Fokusnya terutama adalah memperkirakan akibat-akibat dari kebijakan-kebijakan alternatip. Mereka sadar bahwa klien adalah politikus yang seringkali tidak obyektif. Walaupun demikian klien dapat memberikan informasi yang menyebabkan analis bisa bekerja pada isyu-isyu yang menarik. Meskipun analis memberikan beberapa alternatif kebijakan dan akibat-akibatnya, keputusan terakhir pemilihan alternatip tetap berada ditangan klien. Analis obyektif biasanya berusaha menjaga jarak dengan klien dan lebih menyukai bekerja untuk institusi daripada bekerja untuk pribadi. Banyak diantara analis ini yang pekerjaan tetapnya adalah diperguruan tinggi.

Pembela Klien
Mereka jarang memberikan kesimpulan-kesimpulan yang definitif dan justru menggunakan kesamaran tersebut demi kepentingan klien. Mereka harus loyal kepada klien (pejabat) sebagai imbalan bagi jabatan yang diberikan kepadanya, misal sebagai asisten, penasehat, staf ahli atau konsultan. Itulah sebabnya banyak pejabat pemerintah atau konsultan yang tidak bisa berkomentar sebebas analis obyektif (misal dari perguruan tinggi) atau analis isyu (dari orsospol atau LSM) walaupun kemampuannya sama. Biasanya mereka memilih klien dengan system nilai yang sesuai. Seyogyanya dalam jangka panjang mereka berusaha merubah klien supaya menjadi lebih bermoral.

Pembela Isyu 
Mereka jarang memberikan kesimpulan-kesimpulan yang defenitif dan justru menguatkan kesamaran tersebut dan membuang hal-hal yang tidak menguntungkan jika diperkirakan hasil analisisnya tidak mendukung pembelaan isyu tersebut. Klien yang memberikan kesempatan untuk pembelaan isyu tersebut, dipilih berdasarkan persamaan kepentingan. Contoh pembela isyu adalah lembaga bantuan hukum dan lembaga konsumen. Seyogyanya analisisnya berguna untuk membangun masyarakat yang lebih baik.

Pertimbangan kebijakan seringkali lebih bersifat politis dibandingkan bersifat obyektif sehingga bisa saja analis tidak bisa melakukan apa yang diminta klien. Ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi, diantaranya dia bisa memprotes dengan menyatakan apa yang diminta klien tersebut tidak etis. Apabila protesnya bisa menyadarkan klien atau karena sesuatu hal analis jadi menuruti klien maka persoalannya selesai. Apabila tidak, analis bisa saja meminta berhenti dari pekerjaannya atau dia tetap bekerja pada klien tetapi tidak loyal (selingkuh) dengan membocorkan kelemahan-kelemahan kebijakan tersebut dan kelemahan klien ke pihak lain.

Proses kebijakan terdiri dari :
Permasalahan : Apakah masalah kebijakannya? 
Apakah yang menyebabkannya menjadi masalah publik? 
Bagaimana hal tersebut dapat menjadi agenda pemerintah?

Formulasi : Bagaimana alternatip-alternatip yang berkaitan dengan masalah terbentuk? 
Siapa yang perlu berpartisipasi dalam formulasi kebijakan?

Adopsi: Bagaimana suatu alternatif kebijakan dapat diterima atau disyahkan? 
Syarat-syarat apa yang harus dipenuhi? Siapa yang mensyahkan kebijakan? 
Proses-proses apa yang harus dilalui? 
Apa isi dari kebijakan yang disyahkan tersebut?

Implementasi : Siapa yang terlibat? 
Apa yang dilakukan untuk membuat kebijakan terlaksana? 
Apa dampaknya pada pelaksanaan kebijakan?

Evaluasi : Bagaimana keefektifan atau dampak dari suatu kebijakan diukur? 
Siapa yang mengevaluasinya? 
Apa akibat dari evaluasi kebijakan? 
Apakah diperlukan perubahan atau penyempurnaan?

Permasalahan Kebijakan
Dalam kehidupan ini setiap manusia maupun golongan mempunyai kepentingan dan untuk memenuhinya biasanya dia membutuhkan orang maupun golongan lain. Setiap insan merupakan produsen barang-barang atau jasa-jasa tertentu dan merupakan konsumen barang-barang atau jasa-jasa yang lain. Seorang guru menjadi produsen jasa pendidikan dan merupakan konsumen makanan, pakaian, angkutan kota dan lain-lain, karena itu kehidupan ini merupakan pasar (transaksi) antar individu dan kelompok. Pasar yang bebas dan adil diperlukan oleh masyarakat. Walaupun demikian, apabila pemaksaan kepentingan individu atau golongan tidak dibatasi sehingga merugikan yang lain atau kebebasan berpartisipasi anggota masyarakat secara adil tidak terjadi maka akan terjadi kegagalan pasar (market failures).

Kita mendirikan pemerintahan dengan harapan adanya keadilan disamping dipenuhinya kebutuhan masyarakat. Keadilan adalah bukti cinta pemerintah kepada rakyat sehingga rakyat akan mencintai pemerintahnya dan akan berpartisipasi pada pembangunan secara maksimal. Keadilan disini adalah dalam segala hal, baik dibidang politik (demokrasi), bidang hukum (peradilan) bidang sosial (pemerataan) maupun bidang ekonomi (mengatasi kegagalan pasar). Tugas utama pemerintah adalah menerapkan keadilan, menyelenggarakan demokrasi, menyelenggarakan pemerintah adalah melaksanakan desentralisasi, mengatur perekonomian, menjaga keamanan, menjaga persatuan dan memelihara lingkungan, melindungi hak asasi manusia, meningkatkan kemampuan dan moral masyarakat. Tugas pemerintah dalam perekonomian adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan memenuhi kebutuhan barang publik (alokasi), mengurangi inflasi dan pengangguran (stabilisasi), dan melaksanakan keadilan sosial (distribusi).

Pemerintahan dilaksanakan oleh badan eksekutif (pelaksana), legislatif (pengontrol) dan judikatif (keadilan) yang semuanya bertanggung jawab kepada rakyat. Dalam melaksanakan pemerintahan diperlukan demokrasi (untuk memilih dan mengontrol aparat pemerintahan), aparat pemerintah (birokrat), institusi pemerintah (birokrasi) dan pembagian tugas dan wewenang (desentralisasi).

Kegagalan pasar dapat terjadi karena ketimpangan pasar, barang publik, pengabaian eksternalitas baik fisik maupun sosial, preferensi, asimetri informasi, ketidakpastian, alokasi antar waktu dan biaya penyesuaian. Ketidak sempurnaan pasar terjadi karena adanya monopoli, monopsoni, oligopoli dan oligopsoni.

Walaupun tugas pemerintah adalah menegakkan keadilan tetapi dalam pelaksanaannya pemerintahan dapat juga berbuat tidak adil, karena kepentingan pribadi atau golongan ditempatkan diatas kepentingan umum, maka terjadi kegagalan pemerintah (government failures). Kegagalan pemerintah meliputi permasalahan demokrasi yang menyangkut keadilan pelaksanaannya, permasalahan birokrat yang meliputi nepotisme, kolusi, korupsi (KKN) dan ketidak efisienan partisipasi mereka, permasalahan birokrasi yang menyangkut ketidak efisienan, ketidak jelasan serta ketidaklengkapan dan ketiadaan peraturan pemerintah dan masalah desentralisasi yang menyangkut implementasinya serta ketidakjelasan pembagian tugas dan dana. Kegagalan pemerintahan terutama disebabkan adanya rent seekers (pencari rente) baik dikalangan pemerintahan maupun swasta yang mencari keuntungan pribadi dari kebijakan atau proyek pemerintah, karena itu diperlukan kontrol baik dari legislatif, pers, cendekiawan (termasuk mahasiswa) maupun anggota masyarakat lainnya (demokrasi) serta dilaksanakan hukum.

Mengkoreksi kegagalan pasar dan kegagalan pemerintah dapat dilakukan dengan membebaskan, memberi fasilitas dan menstimulasikan pasar (deregulasi, legalisasi, privatisasi), menggunakan subsidi dan pajak, melalui peraturan hukum, memasok komoditi melalui mekanisme bukan pasar serta, penyediaan asuransi dan perlindungan apabila perlu. Semua hal tersebut dituangkan dalam kebijakan pemerintah yang dapat berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri dan sebagainya.

Globalisasi dan Pembangunan Manusia yang Berkelanjutan

Kita sudah memasuki era globalisasi yang penuh ketidakpastian. Globalisasi telah merubah lingkungan yang tenang, mudah diramalkan dan sederhana menjadi bergejolak, sukar diramalkan dan kompleks. Dalam bukunya The Age of Unreason, Charles Handy mengatakan, "We can no longer assume that what worked well once will work well again when most assumptions can legitimately be challenged". Contohnya adalah krisis saat ini yang sedang melanda beberapa negara Asia yang tadinya dipuja sebagai Asia's Miracle. Untuk memiliki masa depan yang lebih baik diperlukan kemandirian serta kerjasama dan pemahaman antar disiplin termasuk menghormati disiplin lain. Ketidak pastian, seperti mendaki gunung yang tinggi dalam cuaca buruk, akan dapat diatasi apabila masing-masing pendaki mempunyai kemandirian disamping diperlukan kerjasama yang baik antar pendaki.

Menurut Frans Mardi Hartanto untuk menghadapi globalisasi. diperlukan perubaban-perubahan :
Paradigma pembangunan dari teknokrasi yang bertumpu pada rasionalitas kepakaran menjadi sosio demokrasi yang menekankan partisipasi masyarakat.
Penggerak pembangunan dari penawaran (supply) ke permintaan (demand).
Sifat pembangunan dari rasional, teknikal dan sistematik menjadi partisipatif, psikososial dan adaptif.
Fokus perhatian manajemen publik dari kepada output menjadi kepada proses.

Dasar dinamika manajemen publik dari digerakan oleh aturan dan petunjuk pelaksanaan (rule driven) menjadi didorong niat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (need driven).
Wawasan pembangunan berubah dari berdasarkan sektoral menjadi berdasarkan kewilayahan.
Wawasan masa depan berubah dari ekstrapolasi pengalaman masa lalu menjadi antisipasi skenario masa depan baru.

Sumber inisiatif manajemen publik berubah dari gagasan para pakar dan perencana pembangunan menjadi isyu dan peluang pembangunan.
Makna desentralisasi berubah dari distribusi kekuasaan dan sumber daya menjadi mendekatkan pengambilan keputusan ke sumber isyu.
Fungsi birokrasi pemerintah berubah dari pelaku utama pembangunan menjadi fasilitator pembangunan.
Kompetensi inti dari hanya kompetensi teknikal yang terdiri dari ketrampilan, kemampuan, keahlian dan pengalaman menjadi kompetensi teknikal ditambah inovasi, wawasan, motivasi dan hubungan insani.
Perencanan pembangunan dari hanya dilandasi pertimbangan tekno-ekonomik menjadi dilandasi pertimbangan tekno-ekonomik dan sosio-politik.
Penyusunan program dari dilandasi teknikal dan operasional menjadi dilandasi pertimbangan teknikal dan sosio-politik.

Penganggaran pembangunan dari sesuai mata anggaran (line item budgeting) menjadi sesuai kegiatan program (program budgeting).
Pengambilan keputusan dan deterministik berdasarkan analisis rasional menjadi interaktif dipengaruh aspek psiko-sosial.

Perbedaan paradigma dalam menghadapi globalisasi terletak pada bahwa kita tidak bisa lagi mengandalkan pembangunan hanya pada pertumbuhan (efisiensi) saja, faktor pemerataan (equity) tidak kalah pentingnya. Pertumbuhan tidak menjamin adanya pemerataan, tetapi pemerataan dan pemberdayaan akan menjamin pertumbuhan pembangunan yang berkelanjutan. Sekali lagi, yang dibutuhkan untuk menghadapi globalisasi disamping efisiensi adalah pemberdayaan (kemandirian) dan partisipasi (kebersamaan) baik dalam pengambilan keputusan, perencanaan maupun implementasi.

Konsep pembangunan yang dibutuhkan untuk menghadapi globalisasi adalah yang tidak mempertentangkan pertumbuhan dan pemerataan atau konsep pembangunan yang bertumpu pada pemberdayaan dan partisipasi masyarakat yang menurut Ginandjar Kartasasmita dapat dilihat tiga sisi :

Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Disini, titik tolaknya adalah bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpanya, karena kalau demikian akan sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong memotivasikan dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.

Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (enpowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Penguatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi semakin berdaya. Untuk itu, perlu ada program khusus bagi masyarakat yang kurang berdaya, Karena program-program umum yang berlaku untuk semua, tidak selalu dapat menyentuh lapisan masyarakat ini.

Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah.

Pemberdayaan masyarakat sebagai suatu strategi, dewasa ini telah banyak diterima. KTT (konperensi tingkat tinggi) Pembangunan Sosial di Kopenhagen tahun 1992 juga telah memuatnya dalam berbagai kesepakatan. Namun upaya mewujudkannya dalam praktek pembangunan tidak selalu berjalan mulus. Hal tersebut karena adanya berbagai bias terhadap konsep pemberdayaan masyarakat sebagai suatu paradigma pembangunan, sebagai berikut:

Bias pertama adalah kecenderungan berpikir bahwa dimensi rasional pembangunan lebih penting daripada dimensi moralnya, dimensi material lebih penting daripada dimensi moralnya, dimensi material lebih penting daripada dimensi kelembagaannya, dan dimensi ekonomi lebih penting daripada dimensi sosialnya. Akibatnya alokasi sumberdaya pembangunan diprioritaskan menurut jalan pikiran yang demikian.

Bias kedua adalah anggapan bahwa pembangunan yang berasal dari atas lebih sempurna daripada pengalaman dan aspirasi pembangunan ditingkat bawah (grass-root). Akibatnya kebijaksanaan-kebijaksanaan pembangunan menjadi kurang efektif karena kurang mempertimbangkan kondisi yang nyata dan hidup di masyarakat.

Bias ketiga adalah bahwa pembangunan masyarakat di tingkat bawah lebih memerlukan bantuan material daripada keterampilam teknik dan manajerial. Anggapan ini sering mengakibatkan pemborosan sumber daya dan dana, karena kurang mempersiapkan keterampilan teknik dan manajerial dalam pengembangan sumber daya manusia dan mengakibatkan makin tertinggalnya masyarakat di lapisan bawah.

Bias keempat adalah anggapan bahwa teknologi yang diperkenalkan dari atas selalu jauh lebih ampuh daripada teknologi yang berasal dari masyarakat itu sendiri. Anggapan demikian dapat menyebabkan di satu pihak, terlalu memaksa dan menyamaratakan teknologi tertentu untuk seluruh kawasan pembangunan di tanah air yang sangat luas dan beragam tahap perkembangannya ini. Di lain pihak, kita terlalu mengabaikan potensi teknolagi tradisional yang dengan sedikit penyempurnaan dan pembaharuan mungkin lebih efisien dan lebih efektif untuk dimanfaatkan dibandingkan dengan teknologi impor.

Bias kelima adalah anggapan bahwa lembaga-lembaga yang telah berkembang di kalangan rakyat cenderung tidak efisien dan kurang efektif bahkan menghambat proses pembangunan. Anggapan ini membuat kita kurang memanfaatkan lembaga-lembaga masyarakat dilapisan bawah itu dan tidak berikhtiar memperbaharui, memperkuat serta memberdayakannya. Kita justru cenderung memperkenalkan lembaga-lembaga baru yang asing dan tidak selalu sejalan dengan nilai dan norma masyarakat.

Bias keenam adalah bahwa masyarakat dilapisan bawah tidak tahu apa yang diperlukan atau bagaimana memperbaiki nasibnya. Oleh karena itu, mereka harus dituntun, diberi petunjuk, dan tidak perlu dilibatkan dalam perencanaan, meskipun yang menyangkut dirinya sendiri. Akibat dari anggapan ini banyak proyek-proyek pembangunan yang ditujukan untuk rakyat, tetapi salah alamat, tidak memecahkan masalah, dan bahkan merugikan rakyat. Bias ini melihat masyarakat sebagai obyek dan bukan subyek pembangunan.

Bias ketujuh, berkaitan dengan diatas, adalah bahwa orang miskin adalah miskin karena bodoh dan malas. Dengan demikian cara menanganinya haruslah bersifat paternalistik seperti memperlakukan orang bodoh dan malas, dan bukan dengan memberi kepercayaan. Dengan anggapan demikian masalah kemiskinan dipandang lebih sebagai usaha sosial (charity) dan bukan usaha penguatan ekonomi.

Bias kedelapan, adalah ukuran efisiensi pembangunan yang salah diterapkan, misalnya lCOR (Incremental Capital to Output Ratio). Diartikan bahwa investasi harus diarahkan pada hal-hal yang segera menghasilkan bagi pertumbuhan. Padahal upaya pemberdayaan masyarakat, akan menghasilkan pertumbuhan, bahkan merupakan sumber pertumbuhan yang lebih lestari (sustainable), tetapi umumnya dalam kerangka waktu (time frame) lebih panjang. Anggapan yang demikian beranjak dari konsep pembangunan yang sangat bersifat teknik serta tidak memahami sisi-sisi sosial budaya dari pembangunan dan potensi yang ada pada rakyat sebagai kekuatan pembangunan.

Bias kesembilan, adalah anggapan bahwa sektor pertanian dan pedesaan adalah sektor tradisional, kurang produktif dan memiliki masa investasi yang panjang, karena itu kurang menarik untuk melakukan investasi modal besar-besaran disektor itu. Berkait dengan itu, bermitra dengan petani dan usaha-usaha kecil disektor pertanian dan pedesaan dipandang tidak menguntungkan dan memiliki resiko tinggi. Anggapan ini juga telah mengakibatkan prasangka dan menghambat upaya untuk secara sungguh-sungguh membangun usaha pertanian dan usaha kecil dipedesaan.

Bias kesepuluh, berkaitan dengan di atas, adalah ketidakseimbangan dalam akses pada sumber dana. Kecenderungan menabung pada rakyat seperti tercermin pada perbandingan tabungan masyarakat dengan GDP (Gross Domestic Product), yang cukup tinggi acapkali terasa tidak terimbangi dengan kebijaksanaan investasi melalui sektor perbankan yang lebih terpusat pada investasi besar dan sebagian cukup besar diantaranya dialokasikan untuk investasi di sektor properti yang bersifat sangat spekulatif. Kegiatan investasi makin cenderung terpusat di perkotaan, disektor indsutri yang justru banyak disubsidi dan diproteksi, yang akibatnya juga mendorong urbanisasi. Pengalaman Taiwan (dan Jepang sebelumnya) menunjukkan bahwa investasi di wilayah pedesaan dapat meningkatkan pertumbuhan dan sekaligus pemerataan yang menyebabkan ekonominya menjadi kukuh.

Menurut Ginanjar Kartasasmita strategi pemberdayaan masyarakat memerlukan hal-hal berikut :
Harus ada komitmen (political will) yang tegas, jelas, tidak tergoyalkan. Upaya pemberdayaan harus dilakukan dengan langkah nyata dan dalam skala yang memadai untuk menggerakkan proses transformasi serta memecahkan belenggu ketertinggalan dan kekurangberdayaan.
Upaya itu harus terarah (targeted). Ini yang secara populer disebut dengan keberpihakan. Ia ditujukan langsung kepada yang memerlukan. Dalam program yang dirancang untuk mengatasi masalahnya dan sesuai dengan kebutuhannya.
Program itu harus mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh masyarakat atau kelompok yang menjadi sasaran. Mengikutsertakan masyarakat yang akan dibantu itu mempunyai beberapa tujuan. Pertama agar bantuan tersebut efektif karena sesuai dengan kehendak dan mengenali kemampuan masyarakat dengan pengalaman dalam merancang, melaksanakan, mengelola dan mempertanggung-jawabkan upaya peningkatan diri sendiri dan ekonominya.

Karena keterbatasannya, secara sendiri-sendiri masyarakat miskin sulit untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya. Juga lingkup pembinaan menjadi terlalu luas kalau penanganannya dilakukan secara individu. Oleh karena itu pendekatan kelompok adalah yang paling efektif, dan dari penggunaan sumberdaya juga lebih efisien.
Dalam hal dukungan kepada masyarakat serta pemberian bimbingan, perlu pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang seluas-luasnya kepada aparat yang paling dekat dengan rakyat (otonomi, desentralisasi). Untuk itu, birokasi itu sendiri perlu diberdayakan, artinya diperbaharui sikapnya dan diperkuat kemampuannya.

Tugas pemerintah adalah menyelenggarakan keadilan dan mendorong masyarakat untuk mandiri dan berpartisipasi secara maksimal untuk pembangunan yang berkelanjutan demi kepentingan sendiri dan masyarakat. Pemerintah yang baik seyogyanya mengembangkan kapasitas yang dibutahkan untuk merealisasikan pembangunan yang memberikan prioritas pada mereka yang miskin dengan memberdayakannya, memajukan wanita, memelihara lingkungan serta menciptakan kerja dan kesempatan mencari nafkah yang lain. Pemerintah yang baik mempunyai ciri partisipasi, transparan dan dapat dipertanggung jawabkan. Dia juga efisien, efektif dan adil serta mengutamakan penegakan hukum.

Keunggulan komparatif (comparative advantage) terdiri dari sumber daya alam, (SDA), sumber daya manusia (SDM), kapital serta ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Iptek sering disebut juga merupakan keunggulan kompetitif (competitive advantage). Semua keunggulan komparatif diatas akan menjadi terbukti (proven) secara maksimal apabila kita menggunakan secara sinergi yaitu apabila kita menggunakan SDM, kapital serta iptek yang kita miliki secara maksimal untuk pemanfaatan SDA (baik didalam maupun diluar negeri). Sedangkan kapital yang dihasilkan oleh pembangunan, kita gunakan secara efisien untuk menghasilkan produk-produk yang sesuai dengan pengetahuan dan teknologi yang dimiliki serta untuk meningkatkan pengetahuan dan teknologi tersebut guna menghasilkan pembangunan yang berkelanjutan.

Pembangunan manusia yang berkelanjutan mensyaratkan pemeliharaan lingkungan. Banyak yang berpikir bahwa memelihara lingkungan hanyalah menjaga air, tanah dan udara supaya tidak kotor. Memelihara lingkungan memiliki pengertian yang lebih luas dari itu karena didalamnya terdapat prinsip keadilan untuk alam dan masyarakat, tidak hanya untuk waktu sekarang tetapi juga untuk waktu yang akan datang. Dalam pengertian seyogyanya kita mewariskan keadaan yang lebih baik bagi generasi mendatang. Kita perlu mewariskan lingkungan yang bersih, damai, sumber daya alam yang berkelanjutan serta mempersiapkan generasi mendatang yang lebih baik.

Kalau kita mengevaluasi kembali apa yang telah kita lakukan dimasa lalu dan apakah yang telah kita lakukan tersebut, telah tepat mendukung pembangunan berkelanjutan manusia Indonesia maka jawabnya adalah belum. Disamping mengevaluasi negara kita sendiri, sebagai pembanding kita ambil dua negara sahabat yaitu Malaysia dan India.

Politik pembangunan Indonesia dimasa lalu adalah politik ketergantungan. Ketergantungan tersebut adalah terhadap pinjaman luar negeri; dan ketergantungan masyarakat golongan mampu atas subsidi pemerintah. Ada pepatah "easy come, easy go". Uang mudah dari pinjaman tersebut, ditambah dengan ketidak transparanan (asimetri informasi) menyebabkan budaya KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme)dan budaya konsumtif (senang barang mewah dan barang impor). Budaya KKN menghambat inovasi, karena untuk mendapatkan proyek (terutama dari pemerintah) yang penting bukan "lebih efisien", tetapi dapat"lebih memberikan kick back". Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo memperkirakan korupsi sebesar 30 persen dari nilai proyek, karena ICOR (Incremental Capital Output Ratio) Indonesia adalah 30 persen atau lebih dibandingkan nilainya di negara-negara tetangga kita. Subsidi harga BBM telah mengakibatkan pengusaha kita manja dan tidak mandiri. Keadaan kita diperparah dengan tidak berjalannya demokrasi secara baik serta kebijakan sentralisasi. Demokrasi adalah syarat untuk partisipasi dan inovasi, karena dalam demokrasi setiap orang merasa di "wong" kan (diperlakukan sama sebagai manusia). Sedangkan desentralisasi lebih fleksibel, efektif, inovatif, bersemangat kerja, berkomitmen, produktf dan partisipatif daripada sentralisasi sehingga lebih efisien dan mandiri. Dibidang pangan keberpihakan pemerintah kepada petani kurang, sehingga kemajuan bidang pertanian kita terhambat. Indonesia juga mengalokasikan dana untuk pendidikan maupun untuk meningkatkan kemampuan nasionalnya jauh lebih sedikit dibandingkan dana yang habis karena untuk membayar hutang, KKN dan untuk subsidi harga BBM. Akibatnya Indonesia adalah negara yang paling parah terkena krisis di Asia.

Malaysia adalah negara tetangga dengan etnis yang paling dekat dengan kita, disamping sama-sama negara penghasil minyak dan negara agraris. Malaysia menggunakan bagian cukup besar dari hasil minyak dan pertaniannya untuk pendidikan dan pengembangan kemampuan nasionalnya. Di Malaysia tidak ada subsidi BBM (solar dan minyak tanah harganya Rp.1500,-/liter) bahkan untuk bensin harganya Rp.2500,-/liter karena dikenakan road user fee untuk pembuatan jalan. Akibatnya, walaupun pada awalnya pengaruh krisis juga menimpa Malaysia, tetapi Malaysia cepat sembuh. Malaysia merupakan negara Asia yang mempunyai reputasi internasional yang tinggi dalam berbisnis. Petronas disamping mengusahakan migas didalam negeri, juga berhasil mengusahakannya diluar negeri.

India adalah negara yang berpendudukan banyak dan tidak kaya seperti Indonesia. India bukan hanya tidak mensubsidi harga BBM, India bahkan menerapkan pajak sekitar 200 persen untuk bensin karena harganya di India sekitar 60 sen dolar Amerika Serikat atau Rp. 4200/liter. Walaupun demikian, India memberi subsidi untuk transportasi umum. Di bidang industri dan pertanian India berusaha untuk mandiri. Walaupun mungkin produk industri India tidak secangih produk Amerika, tetapi "made in India" jauh lebih murah. Bahkan kita perlu belajar dari India yang mampu memproduksikan gandum didaerah tropis. Walaupun miskin, rakyat India hidup dalam realitas sehingga mereka bekerja keras untuk berusaha membuat segala sesuatunya sendiri, disamping menggunakan uang pendapatannya untuk pendidikan dan penelitian.

Terdapat nasehat Confusius yang menyatakan: "Give a man afish and you feed him for a day, Teach him to fish and you feed him for lifetime". Dengan mensubsidi harga BBM, Indonesia memberikan ikan kepada orang miskin yang tidak pernah membuatnya kaya. Sedangkan Malaysia dan India mengajari memancing dengan pendidikan dan pengembangan kemampuannya, sehingga mereka menjadi lebih pintar dan bernasib lebih baik secara berkelanjutan.

Faktor Sosial
Penanganan masalah sosial atau pemerataan adalah tugas pemerintah dan masyarakat. Partisipasi, pemberdayaan dan desentralisasi adalah masalah sosial yang perlu dicermati.

Peranan pemerintah dalam pemerataan adalah untuk melaksanakan keadilan sosial. Pemerataan kesempatan dan pendapatan yang ditimbulkan oleh sistim pasar bebas dapat tidak adil karena tidak dilakukan dalam level playing field (tempat bermain yang seimbang) dan tidak memihak kepada kaum lemah. Walaupun demikian, keadilan bukanlah suatu hal yang statis dan absolut akan tetapi merupakan suatu hal yang dinamis dan relatif tergantung kepada persepsi masyarakat. Karena itu masalah pemerataan diserahkan kepada masyarakat melalui wakil-wakil mereka dan kemudian berdasarkan peraturan-peraturan untuk yang disetujui dilaksanakan oleh pemerintah. Pemerintah dapat merubah distribusi pendapatan melalui pajak yang progresif (dengan presentase pajak yang lebih besar bagi yang lebih kaya), dengan pemberian langsung kepada orang miskin (misal: sembako) atau pemberian keringanan bagi yang miskin seperti kredit berbunga rendah untuk rumah sangat sederhana, usaha kecil, subsidi pupuk untuk petani dan sebagainya. Keadilanlah yang akan menyebabkan kemakmuran, karena keadilan akan menyebabkan partisipasi maksimal dari masyarakat Dana untuk penyelenggaraan keadilan tersebut adalah sepertimitigation cost (biaya pengurangan dampak) untuk mengatasi eksternalitas negatip. Apabila kita tidak mengeluarkan biaya pengurangan dampak tersebut maka kita akan membayar damage cost (biaya kerusakan).

Pemerataan bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga tugas seluruh masyarakat. Agama mewajibkan kita untuk membantu orang lain, seperti dalam Hadist Nabi: "Tidak beriman seseorang diantara kamu kalau ia sendiri kenyang, sementara tetangganya lapar, dan ia mengetahuinya". Tetangga disini dapat berarti rumah sebelah, kampung sebelah, kabupaten sebelah, propinsi sebelah dan seterusnya. Kunci mengatasi krisis ini adalah kemauan untuk berkorban untuk orang lain (bagaimana caranya menggunakan teknologi, berdagang dan mendapatkan modal secara lebih baik) tidak hanya dengan membagi (sharing) makanan tetapi juga dengan membagi ilmu sehingga saudara-saudara kita yang lebih miskin dapat mandiri dan melepaskan ketergantungan kepada orang lain.

Problem peningkatan kesejahteraan rakyat kecil terutama disebabkan kurangnya pengetahuan dan penguasaan teknologi petani dan pengrajin, permasalahan modal sehingga mereka tergantung kepada lintah darat serta terlalu banyaknya rente yang diambil sektor distribusi (tengkulak) dibandingkan keuntungan yang diperoleh petani dan pengrajin (di Jepang nasib petani sangat dilindungi demi ketahanan nasional). Sudah saatnya masalah teknologi, pendanaan dan distribusi tersebut dibenahi misal dengan ditingkatkannya peran perguruan tinggi, organisasi sosial kemasyarakat (semacam Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama), pesantren dan lembaga keagamaan lainnya serta LSM dan diberdayakannya koperasi untuk ketiga hal tersebut. Koperasi yang berhasil adalah yang didukung masyarakat (bottom up) dan bukan yang diatur dari atas (top down). Sektor diluar sektor pemerintah dan swasta ini disebut "sektor ketiga" yang peranannya sangat besar dalam kehidupan di Amerika Serikat terutama dalam mengatasi krisis. Kalau dalam perang kemerdekaan dulu yang keadaannya jauh lebih sulit kita bisa "survive", kenapa sekarang tidak?. Syarat utamanya adalah bahwa kita harus bersatu dan krisis ini seharusnya membuat kita makin bersatu dan bukan terpecah belah. Mahasiswa seyogyanya tidak hanya melakukan unjuk rasa (walaupun penting untuk kontrol sosial), tetapi juga harus  membuat kajian kebijakan secara konferhensip sehingga kebijakan negara semakin baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar