Selasa, 26 Juli 2011

PENGANTAR ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN

Written by Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.SiPDFPrintE-mail
A. Konsep Dasar Kebijakan Pendidikan
Duke dan Canady (1991) mengelaborasi konsep kebijakan dengan delapan arah pemaknaan kebijakan, yaitu: (1) kebijakan sebagai penegasan maksud dan tujuan, (2) kebijakan sebagai sekumpulan keputusan lembaga yang digunakan untuk mengatur, mengendalikan, mempromosikan, melayani, dan lain-lain pengaruh dalam lingkup kewenangannya, (3) kebijakan sebagai panduan tindakan diskresional, (4) kebijakan sebagai strategi yang diambil untuk memecahkan masalah, (5) kebijakan sebagai perilaku yang bersanksi, (6) kebijakan sebagai norma perilaku dengan ciri konsistensi, dan keteraturan dalam beberapa bidang tindakan substantif, (7) kebijakan sebagai keluaran sistem pembuatan kebijakan, dan (8) kebijakan sebagai pengaruh pembuatan kebijakan, yang menunjuk pada pemahaman khalayak sasaran terhadap implementasi sistem.
Ketika memberikan pengantar untuk paparan sejumlah kasus kebijakan pendidikan di beberapa negara maju, Hough (1984) memberikan kontribusi sangat berarti bagi para pengkaji kebijakan pendidikan. Kontribusi ini terutama menyangkut isu-isu konseptual dan teoretik yang mampu memberikan kerangka pemahaman utuh bagi analisis kebijakan pendidikan.
Hough (1984) juga menegaskan sejumlah arti kebijakan. Kebijakan bisa menunjuk pada seperangkat tujuan, rencana atau usulan, program-program, keputusan-keputusan, menghadirkan sejumlah pengaruh, serta undang-undang atau peraturan-peraturan. Bertolak dari konseptualisasi ini, misalnya, ujian nasional merupakan salah satu bentuk kebijakan pendidikan. Ujian nasional memadai untuk dikategorikan sebagai kebijakan karena: (1) dengan jelas dimaksudkan untuk mencapai seperangkat tujuan, (2) senantiasa menyertakan rencana pelaksanaan, (3) merupakan program pemerintah, (4) merupakan seperangkat keputusan yang dibuat oleh lembaga dan atau pejabat pendidikan, (5) menghadirkan sejumlah pengaruh, akibat, dampak dan atau konsekuensi, (6) dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan peraturan lembaga terkait.
B. Daur Kebijakan Pendidikan
Kontribusi Hough (1984) yang juga sangat penting adalah penjelasannya mengenai tahapan-tahapan dalam proses kebijakan. Kerangka analisis yang ditujukan pada proses kebijakan mencakup: (1) Kemunculan isu dan identifikasi masalah, (2) perumusan dan otorisasi kebijakan, (3) implementasi kebijakan, (4) dan perubahan atau pemberhentian kebijakan.
Pada tahap kemunculan isu dan identifikasi masalah, dilakukan pengenalan terhadap suatu masalah atau persoalan yang memerlukan perhatian pemerintah, masalah-masalah yang memdapat tempat dalam agenda publik serta agenda resmi, serta mobilisasi dan dukungan awal bagi strategi tertentu.
Pada tahap perumusan dan otorisasi kebijakan, dilakukan eksplorasi berbagai alternatif, perumusan seperangkat tindakan yang lebih dipilih, usaha-usaha untuk mencapai konsensus atau kompromi, otorisasi formal strategi tertentu seperti melalui proses legislasi, isu pengaturan atau penerbitan arahan-arahan.
Pada tahap implementasi, dilakukan interpretasi terhadap kebijakan dan aplikasinya terhadap kasus tertentu, serta pengembangan satu atau lebih program sebagai alternatif yang dipilih untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Pada    tahap    penghentian atau perubahan kebijakan, dilakukan penghentian karena masalah telah dipecahkan, kebijakan tidak berhasil atau hasilnya dinilai tidak diinginkan, melakukan perubahan mendasar berdasarkan umpan-balik, atau mengganti kebijakan tertentu dengan kebijakan baru.
Aspek kedua yang harus dikaji dalam analisis kebijakan pendidikan adalah konteks kebijakan. Ini harus dilakukan karena kebijakan tidak muncul dalam kebampaan, melainkan dikembangkan dalam konteks seperangkat nilai, tekanan, kendala, dan dalam pengaturan struktural tertentu. Kebijakan juga merupakan tanggapan terhadap masalah-masalah tertentu, kebutuhan serta aspirasi yang berkembang.
Aspek ketiga yang harus dikaji dalam analisis kebijakan pendidikan adalah pelaku kebijakan. Aktor kebijakan pendidikan bisa dikategorikan menjadi dua, yaitu: para pelaku resmi dan pelaku tak resmi. Pelaku resmi kebijakan pendidikan adalah perorangan atau lembaga yang secara legal memiliki tanggungjawab berkenaan dengan pendidikan. Aktor tak resmi kebijakan pendidikan adalah individu atau organisasi yang terdiri dari kelompok kepentingan, partai politik, dan media. Dalam aktor kebijakan resmi, juga dibagi-bagi lagi --- tetapi mengikuti sistem pemerintahan negara yang dikaji --- mulai dari pejabat senior hingga partai politik, lembaga pendidikan, lain-lain lembaga terkait pendidikan, dan antar badan antar pemerintah.
Pada aktor informal, atau tak resmi, terdapat kelompok kepentingan, partai politik, serta media massa. Kelompok kepentingan ini antara lain serikat guru, asosiasi yang mewakili jenis atau jenjang pendidikan tertentu, asosiasi yang mewakili peserta didik, asosiasi yang mewakili pimpinan perguruan tinggi, hingga asosiasi yang mewakili orangtua peserta didik.
Berdasarkan seluruh kajian yang dilakukan, memang tidak mungkin untuk disimpulkan secara umum. Namun demikian, jelas bahwa kadang-kadang kebijakan pendidikan secara terbuka dan hati-hati dihentikan, dimodifikasi, dihaluskan, atau diganti dengan kebijakan lain.
C. Implementasi Kebijakan Pendidikan
Grindle (1980) menempatkan implementasi kebijakan sebagai suatu proses politik dan administratif. Dengan memanfaatkan diagram yang dikembangkan, jelas bahwa proses implementasi kebijakan hanya dapat dimulai apabila tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang semula bersifat umum telah dirinci, program-program aksi telah dirancang dan sejumlah dana/biaya telah dialokasikan untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran tersebut. Ini merupakan syarat-syarat pokok bagi implementasi kebijakan publik apapun.
Tanpa adanya syarat-syarat tersebut, maka kebijakan publik boleh dikatakan sekedar retorika politik atau slogan politik. Secara teoretik pada tahap implementasi ini proses perumusan kebijakan dapat digantikan tempatnya oleh proses implementasi kebijakan, dan program-program kemudian diaktifkan. Tetapi dalam praktik, pembedaan antar tahap perumusan kebijakan dan tahap implementasi kebijakan sebenarnya sulit dipertahankan, karena umpan balik dari prosedur-prosedur implementasi mungkin menyebabkan diperlukannya perubahan-perubahan tertentu pada tujuan-tujuan dan arah kebijakan yang sudah ditetapkan. Atau aturan-aturan dan pedoman-pedoman yang sudah dirumuskan ternyata perlu ditinjau kembali sehingga menyebabkan peninjauan ulang terhadap pembuatan kebijakan pada segi implementasinya.
Bagan  Implementasi sebagai Proses Politik dan Administratif
Lebih khusus lagi, dilihat dari sudut proses implementasi, keputusan-keputusan yang telah dibuat pada tahap rancangan atau perumusan berpengaruh terhadap lancar atau tidaknya implementasi. Hal ini kiranya akan menjadi jelas dengan mengambil contoh dampak tertentu yang ditimbulkan terhadap implementasi dari keputusan untuk mengalokasikan sejumlah besar dana yang dimaksudkan unhik mewujudkan tujuan kebijakan tertentu.
Perlu pula ditambahkan bahwa proses implementasi untuk sebagian besar dipengaruhi oleh macam tujuan yang ingin dicapai dan oleh cara perumusan tujuan. Dengan demikian perumusan keputusan atau mungkin bahkan tidak dirumuskan sama sekali mengenai macam kebijakan yang akan ditempuh serta macam program yang akan dilaksanakan merupakan faktor-faktor yang menentukan apakah program-program tersebut akan dapat dilaksanakan dengan berhasil ataukah tidak.
Muatan dari pelbagai kebijakan kerapkali juga menentukan letak implementasinya. Implementasi beberapa kebijakan tertentu biasanya hanya melibatkan sejumlah kecil satuan-satuan pembuat keputusan kunci di tingkat nasional, misalnya aktor-aktor yang menduduki posisi-posisi puncak.
Sebaliknya, ada pula kebijakan yang dilaksanakan oleh sejumlah besar pambuat keputusan yang posisinya bertebaran dalam wilayah geografis dan administratif yang luas, sekalipun biasanya hanya melibatkan suatu organisasi birokrasi tunggal. Di samping itu berbagai pejabat di daerah mungkin dilibatkan sebagai pelaksana-pelaksana dari program-program yang telah dirancang.
Semakin tersebar posisi implementasi, baik secara geografis maupun secara organisatoris-administratif, maka semakin sulit pula tugas-tugas implementasi suatu program. Sebabnya ialah karena makin banyak jumlah satuan-satuan pengambil keputusan yang terlibat di dalamnya.
Keputusan-keputusan yang dibuat pada saat perumusan kebijakan dapat pula menunjukkan siapa yang akan ditugasi untuk mengimplementasikan berbagai program yang ada. Keputusan-keputusan demikian ini pada gilirannya akan dapat mempengaruhi bagaimana kebijakan itu akan diwujudkan di kelak kemudian hari. Dalam hubungan ini mungkin akan dapat dideteksi secara dini adanya perbedaan-pebedaan tertentu pada berbagai satuan birokrasi yang akan terlibat langsung dalam pengeloaan program. Perbedaan itu, misalnya dalam hal tingkat kemampuan administratif atau manajerialnya. Di antara berbagai satuan birokrasi itu mungkin memiliki staf yang aktif, berkeahlian, dan berdedikasi tinggi terhadap keberhasilan pelaksanaan tugas, sedangkan satuan-satuan birokrasi lainnya tidak.
Sementara itu, beberapa di antara satuan birokrasi tersebut mungkin akan mendapatkan dukungan yang lebih besar dari elite-elite politik yang berkuasa dan, karena itu, mereka dalam menjalankan tugasnya akan memiliki peluang yang lebih besar untuk mendapatkan sumber-sumber yang diperlukan. Di lain pihak, beberapa satuan birokrasi lainnya mungkin lebih mampu menanggulangi berbagai macam tuntutan dan kendala yang menghadang mereka.
Bentuk tujuan-tujuan kebijakan juga membawa dampak terhadap implementasinya. Dalam hubungan ini apakah tujuan-tujuan itu telah dirumuskan dengan jelas ataukah masih kabur, dan apakah pejabat-pejabat politik dan administrasi memiliki komitmen yang tinggi terhadap tujuan-tujuan tersebut ataukah tidak, pada akhirnya akan berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan proses implementasinya.
Dari berbagai penjelasan di atas, jelas bahwa muatan program daii muatan kebijakan publik itu berpengaruh terhadap hasil akhir implementasinya. Namun sebagaimana telah ditunjukkan dalam diagram tadi, muatan program atau muatan kebijakan itu menjadi faktor yang berpengaruh karena dampaknya yang nyata atau yang potensial terhadap lingkungan sosial, politik dan ekonomi tertentu. Oleh sebab itu, penting sekali untuk memperhitungkan konteks atau lingkungan implementasi kebijakan.
Dalam proses implementasi atau pengadministrasian setiap program mungkin banyak aktor yang terlibat dalam penentuan pilihan-pilihan mengenai alokasi sumber-sumber publik tertentu serta banyak pihak yang mungkin berusaha keras untuk mempengaruhi keputusan-keputusan tersebut. Berbagai pihak yang kemungkinan berpihak dalam implementasi program tertentu ialah para perencana tingkat nasional; para politisi tingkat nasional, regional dan lokal; kelompok-kelompok elite ekonomi, khususnya di tingkat lokal; kelompok-kelompok penerima program dan para pelaksana atau para birokrat pada tingkat menengah atau bawah. Aktor-aktor tersebut mungkin terlibat secara penuh ataukah tidak dalam implementasi program tertentu sedikit banyak akan ditentukan oleh muatan program dan bagaimana bentuk pengadministrasian programnya.
Masing-masing aktor mungkin mempunyai kepentingan tertentu dalam program tersebut, dan masing-masing mungkin berusaha untuk mencapainya dengan cara mengajukan tuntutan-tuntutan mereka dalam prosedur alokasi sumber. Seringkali terjadi, tujuan-tujuan dari para aktor itu bertentangan satu sama lain dan hasil akhir dari pertentangan ini serta akibatnya mengenai siapa yang memperoleh apa, akan ditentukan strategi, sumber-sumber, dan posisi kekuasaan dari tiap aktor yang terlibat.
Apa yang diimplementasikan dengan demikian merupakan hasil suatu tarik-ulur kepentingan-kepentingan politik dan kelompok-kelompok yang saling berebut sumber-sumber yang langka, daya tanggap dari pejabat-pejabat pelaksana serta tindakan dari para elite politik yang kesemuanya itu berinteraksi dalam kelembagaan tertentu. Oleh karena itu analisis mengenai program-program tertentu berarti pula menilai kemampuan-kemampuan kekuasaan dari para aktor yang terlibat, kepentingan-kepentingan mereka dan strategi-strategi yang mereka tempuh untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan tersebut serta ciri-ciri pemerintahan dimana mereka berinteraksi. Hal ini pada gilirannya akan memudahkan penilaian terhadap peluang untuk mencapai tujuan-tujuan kebijakan maupun tujuan-tujuan program.
Dalam rangka mencapai tujuan-tujuan tersebut para pejabat akan dihadapkan pada dua permasalahan, yaitu yang menyangkut lingkungan interaksi program dan administrasi program. Untuk itu pertama-tama para pejabat tersebut harus memusatkan perhatiannya pada masalah bagaimana mencapai konsistensi tujuan-tujuan yang termaktub di dalam kebijakan. Misalnya mereka harus berusaha mendapatkan dukungan dari para elite politik dan kesediaan dari instansi-instansi pelaksana, dari para birokrat yang ditugasi untuk melaksanakan program dari para elite politik pada tingkat rendah, serta dari pihak-pihak ynag diharapkan menerima manfaat program tersebut. Selanjutnya mereka harus mampu merubah sikap menentang dari pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh program tersebut menjadi sikap menerima terhadapnya, serta mereka harus tetap waspada terhadap pihak-pihak yang diabaikan oleh program tersebut, tetapi tetap bersikeras untuk memperoleh manfaat, khususnya terhadap usaha-usaha yang mungkin mereka lakukan untuk menggerogotinya. Upaya untuk menumbuhkan kesediaan bahkan kepatuhan dari berbagai pihak tersebut di atas boleh jadi berarti semakin banyak dilakukan negosiasi, akomodasi, dan lagi-lagi konflik tertentu. Namun, jika keseluruhan tujuan-tujuan kebijakan tersebut ingin diwujudkan, maka sumber-sumber yang dipakai untuk mendapatkan kesediaan itu tidak perlu harus mengorbankan dampak atau sasaran pokok dari program.
Sisi lain dari masalah pencapaian tujuan-tujuan kebijakan dan program dalam suatu lingkungan tertentu ialah daya tanggap. Idealnya lembaga-lembaga publik semisal birokrasi harus tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan dari pihak-pihak yang mereka harapkan menerima manfaat sebagai upaya untuk melayaninya sebaik mungkin. Tambahan pula, tanpa adanya daya tanggap tertentu selama implementasi, pejabat-pejabat pemerintah akan tidak mempunyai informasi yang memadai guna mengevaluasi prestasi dan keberhasilan suatu program.
Dalam banyak hal, daya tanggap mungkin pula berarti bahwa tujuan-tujuan kebijakan tidak tercapai karena adanya campur tangan individu-individu atau kelompok-kelompok yang sama, baik dalam rangka untuk mendapatkan barang dan layanan tertentu dalam jumlah yang lebih besar ataupun untuk menghambat jalannya program tertentu yang boleh jadi tidak mereka terima sebagai sesuatu yang bermanfaat. Bagi administrator-administrator kebijakan masalahnya dengan demikian adalah bagaimana menciptakan situasi yang kondusif dan menjamin adanya respon yang memadai guna memungkinkan keluwesan, dukungan, dan umpan balik selama proses implementasi program, sementara pada saat yang sama tetap mengusahakan adanya kontrol yang memadai atas distribusi sumber-sumber yang dipergunakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam kebijakan itu.
Untuk membuat keseimbangan semacam itu jelas bukan merupakan pekerjaan yang gampang, karena membutuhkan kejelian politik tertentu dalam memperhitungkan berbagai kemungkinan tanggapan yang muncul dari para aktor yang terlibat serta kemampuan , mereka untuk menggagalkan tujuan-tujuan program. Oleh sebab itu, maka agar supaya efektif, para pelaksana haruslah mempunyai kecakapan dalam seni berpolitik serta harus mempunyai pemahaman yang baik mengenai lingkungan di mana mereka berusaha untuk mewujudkan kebijakan publik dan program-programnya.
Masalah-masalah ideologi, kebudayaan, aliensi politik dan peristiwa-peristiwa merupakan faktor-faktor lingkungan lainnya yang mungkin membawa dampak tertentu terhadap proses implementasi kebijakan publik. Lebih lanjut, karena program-program apa pun tidaklah diimplementasikan dalam keadaan terisolasi dari kebijakan-kebijakan publik lainnya, maka keberhasilan suatu program tertentu akan dengan mudah dipengaruhi oleh prioritas-prioritas dari pejabat-pejabat politik ataupun hasil akhir dari program-program lainnya. Faktor-faktor tersebut menegaskan bahwa program-program yang muatannya serupa mungkin akan diimplementasikan secara berbeda jika lingkungan di mana program tersebut dilaksanakan amat berlainan.
Berdasarkan kajiannya terhadap proses pembuatan pilihan dalam implementasi kebijakan di negara-negara sedang berkembang, Grindle (1980) mengajukan model pilihan-pilihan kritis dalam proses implementasi. Dalam model ini, implementasi kebijakan diletakkan dalam konteks politiko-administratif (Periksa Bagan).
Bagan Pilihan-pilihan Kritis Proses Implementasi Kebijakan
Pada bagian pertama, pilihan-pilihan harus dibuat berkenaan dengan defmisi kebijakan dan program, serta pengaruhnya terhadap usaha implementasi yang mengikuti. Bagian kedua, pilihan-pilihan harus dibuat berkenaan dengan strategi implementasi dan konsekuensinya terhadap penyaluran program. Bagian ketiga, dipertanyakan siapa yang memetik keuntungan? Untuk itu pilihan-pilihan harus dibuat berkenaan dengan alokasi sumber dan konsekuensinya terhadap kelompok dan individu di masyarakat.
D. Permasalahan Analisis dan Penilaian Kebijakan
Mengikuti kerangka kerja analisis dan penilaian kebijakan publik (a framework for public policy analysis and policy evaluation) Theo Jans (2007), dapat dikenali dua kelompok permasalahan kebijakan.
Kelompok permasalahan pertama meliputi: (1) kajian tentang bagaimana, mengapa, dan apa pengaruh yang timbul dari adanya tindakan atau tidak adanya tindakan pemerintah (the study of ‘how, why and to what effect governments pursue particular courses of action and inaction), (2) kajian tentang apa yang dilakukan pemerintah, mengapa mereka melakukannya, dan perbedaan-perbedaan apa yang timbul karenanya (what governments do, why they do it, and what difference does it make), dan (3) kajian tentang sifat dasar, sebab-sebab, dan akibat kebijakan publik (the study of the nature, causes, and effects of public policies).
Kelompok permasalahan kedua meliputi: (1) kajian tentang bagaimana masalah-masalah dan isu-isu disusun dan dirumuskan (how are problems and issues defined and constructed?), (2) kajian tentang bagaimana kebijakan ditempatkan dalam agenda politik dan kebijakan (how are they placed on political and policy agenda?), (3) kajian tentang bagaimana pilihan-pilihan kebijakan muncul (how policy options emerge?), (4) kajian tentang bagaimana dan mengapa pemerintah melakukan atau tidak melakukan sesuatu (how and why governments act or do not act?), dan (5) kajian tentang apa saja akibat yang timbul dari kebijakan pemerintah (what are the effects of government policy?).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar